Kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dalam. perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya.
Berdasarkan Pengertian diatas maka perilaku individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan akan berbeda-beda. Semua perilaku tersebut bersifat khas artinya hanya dimiliki oleh individu itu meskipun orang lain memiliki perilaku yang sama mungkin pemaknaannya berbeda , misalnya ada yang makan karena belum sarapan , ada yang makan karena ikut teman atauada yang makan karena mengisi waktu saja .
Kepribadian adalah ciri , karakteristik , gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri kita sendiri . Bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan yang kita terima dilingkungan jadi yang disebut kepribadian itu adalah campuran dari yang bersifat psikologis , kejiwaan dan juga fisik.
Definisi kepribadian menurut beberapa ahli antara lain sebagai berikut :
a. Yinger
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan system kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian instruksi.
b. M.A.W Bouwer
Kepribadian adalah corak tingkah laku social yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini dan sikap-sikap seseorang.
c. Cuber
Kepribadian adalah gabungan keseluruhan dari sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh seseorang.
d. Theodore R. Newcombe
Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku.
Pengertian Kebudayaan
kebudayaan berasal dari kata budh- budhi- budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada yang mengatakan bahwa kebudayaan yang berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsure rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia
Definisi Kebudayaan Menurut para Ahli
Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli :
1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2. M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, Ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.
3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.
4. Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5. William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima ole semua masyarakat.
6. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
7. Francis Merill
•Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi social
o Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.
8. Bounded et.al
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.
9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)
Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar di alihkan secara genetikal.
10. Robert H Lowie
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.
11. Arkeolog R. Seokmono
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.
Kesimpulan
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Sumber : http://ranggaindrasatria.blogspot.com/2011/12/pengertian-kepribadian-dan-kebudayaan.html
KEBUDAYAAN BARAT
Sebuah usaha untuk melihat
secara jernih, tentang kebudayaan Barat, yang sedang naik-daun dan
berkelindan dengan problematika kehidupan manusia.
Kebudayaan Barat adalah sebuah kebudayaan yang dipromosikan lewat globalisasi. Sebuah kebudayaan yang ternyata bersifat kontradiktif antara unsur kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Itu adalah tesis dari tulisan ini, yang akan dapat lebih jelas dilihat dari uraian-uraian selanjutnya.
Kebudayaan Barat dikatakan kontradiktif, karena beberapa hal yaitu:
Kebudayaan Barat adalah sebuah kebudayaan yang dipromosikan lewat globalisasi. Sebuah kebudayaan yang ternyata bersifat kontradiktif antara unsur kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Itu adalah tesis dari tulisan ini, yang akan dapat lebih jelas dilihat dari uraian-uraian selanjutnya.
Kebudayaan Barat dikatakan kontradiktif, karena beberapa hal yaitu:
Adanya usaha pengeliminiran antar unsur kebudayaan.
Kondisi ini dapat dilihat dari peperangan yang terjadi antara keyakinan dengan sains, keyakinan dengan filsafat, keyakinan dengan seni, keyakinan dengan ekonomi, politik dengan moralitas, moralitas dengan ekonomi, dan lain-lain.
Dapat dilihat, bahwa merupakan suatu hal yang umum diketahui bahwa kondisi tersebut wajar terjadi. Dan bahkan kerap digeneralisir kepada seluruh kebudayaan yang ada di seluruh pelosok bumi. Sehingga muncul anggapan yang naif akibat pencitraan dan kegelapan mata, bahwa sangat sulit untuk menyatukan atau menghentikan peperangan tersebut.
Inilah penyebab yang mungkin membuat Barat membuat sebuah mekanisme pelumpuhan kemampuan mendominasi atau menyerang kepada unsur kebudayaan lain. Lewat pencitraan bahwa di balik segala sesuatu ada kekuasaan, relativitas kebenaran, teologi global, pluralisme agama, anarkis metodologis, Hak Asasi Manusia, dan masih banyak lainnya. Dan usaha tersebut sudah menampakkan pengaruhnya dalam kehidupan seluruh manusia yang terjangkau oleh globalisasi.
Hal lain yang terjadi adalah munculnya sebuah kondisi inferior tentang dua hal dalam kebudayaan yaitu, keyakinan dan moralitas. Dua sisi ini, menjadi sedemikian inferior, sehingga mereka melakukan “bunuh-diri” dengan mereduksi dirinya sendiri menjadi hanya tinggal nilai-nilai universal. Sehingga jalan keselamatan tidak hanya lewat keyakinan yang mereka pegang. Kebudayaan Barat menjadi kebudayaan yang lahir sebagai sintesa bagi kebudayaan Kristen-Romawi – meskipun masih mengambil beberapa peringatan dari kebudayaan Kristen-Romawi seperti Valentine, Natal, Paskah, Halloween, dan lain-lain. Kebudayaan barat dibangun dengan semangat Yunani dengan Filsafat sebagai “teologi”, demokrasi sebagai sistem politik, protestan sebagai keyakinan tanpa ibadah (deisme), sekulerisme sebagai alat potong dan pelumpuhan intervensi dari pihak manapun, homoseks dan banalitas-seksual sebagai antitesa pengakuan dosa dan represi seksual Katolik.
Proses pengambilan unsur-unsur tersebut oleh kebudayaan Barat, dilakukan secara asimilatif. Unsur-unsur tersebut diambil secara mentah-mentah dan kemudian dicampur dalam sebuah kondisi yang saling bertolak belakang. Kebudayaan Barat lahir bukan dari prinsip yang utuh dan meliputi, akan tetapi bersifat parsial dan karena tidak dapat dihubungkan atau bertentangan, maka terjadi isolasi (yang akan lebih lanjut diuraikan) atau peperangan (seperti sudah diuraikan di atas).
Sungguh malang, namun hal itu benar-benar terjadi dan ternyata menular kepada kebudayaan lain. Penyakit tersebut diderita pula oleh kebudayaan lain dan akhirnya berusaha mengadaptasi cara Barat dalam menjalani kebudayaannya. Terlihat dengan menggunakan periodisasi sejarah seperti Barat. Periodisasi dikenal dengan pembagian Klasik, Abad Pertengahan, Renaisans, Modern, dan Posmodern. Para peng-asimilasi kebudayaan Barat kemudian mencoba men-sekuler-kan dan me-liberal-kan kebudayaan mereka seperti yang dilakukan kebudayaan Barat untuk mencapai kejayaan dan kemajuan yang dicapai Barat. Akhirnya banyak kebudayaan yang menjadi “Barat” (westernisasi), mulai dari pandangan ontologis hingga etis, beserta prakteknya..
Sebenarnya, masyarakat Barat mulai sadar dengan kondisi yang demikian sakit – meski disayangkan para peng-asimilasi kebudayaan Barat nampaknya belum sadar. Namun, mereka tidak dapat melihat secara jelas akar permasalahannya. Masyarakat Barat banyak yang melarikan diri ke dalam spiritualitas, dunia mistis, kehidupan banal, menikmat seks yang memuakkan, menikmati musik yang mebuat histeris, dan lain-lain hingga akhirnya bunuh-diri, menjadi fenomena yang wajar dan tidak berusaha untuk diubah. Semua hal tersebut adalah wajar karena kebebasan adalah segalanya. Tradisi haruslah sesuatu yang rasional dan menjunjung kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Lewat argumentasi ini, individu-Barat menjadi pragmatis, eklektis, dan split-many-personality.
Meskipun muncul kesadaran tentang ke-akut-an penyakit mereka, pengeliminiran ini masih terus terjadi dan entah kapan akan berakhir.
Kondisi ini dapat dilihat dari peperangan yang terjadi antara keyakinan dengan sains, keyakinan dengan filsafat, keyakinan dengan seni, keyakinan dengan ekonomi, politik dengan moralitas, moralitas dengan ekonomi, dan lain-lain.
Dapat dilihat, bahwa merupakan suatu hal yang umum diketahui bahwa kondisi tersebut wajar terjadi. Dan bahkan kerap digeneralisir kepada seluruh kebudayaan yang ada di seluruh pelosok bumi. Sehingga muncul anggapan yang naif akibat pencitraan dan kegelapan mata, bahwa sangat sulit untuk menyatukan atau menghentikan peperangan tersebut.
Inilah penyebab yang mungkin membuat Barat membuat sebuah mekanisme pelumpuhan kemampuan mendominasi atau menyerang kepada unsur kebudayaan lain. Lewat pencitraan bahwa di balik segala sesuatu ada kekuasaan, relativitas kebenaran, teologi global, pluralisme agama, anarkis metodologis, Hak Asasi Manusia, dan masih banyak lainnya. Dan usaha tersebut sudah menampakkan pengaruhnya dalam kehidupan seluruh manusia yang terjangkau oleh globalisasi.
Hal lain yang terjadi adalah munculnya sebuah kondisi inferior tentang dua hal dalam kebudayaan yaitu, keyakinan dan moralitas. Dua sisi ini, menjadi sedemikian inferior, sehingga mereka melakukan “bunuh-diri” dengan mereduksi dirinya sendiri menjadi hanya tinggal nilai-nilai universal. Sehingga jalan keselamatan tidak hanya lewat keyakinan yang mereka pegang. Kebudayaan Barat menjadi kebudayaan yang lahir sebagai sintesa bagi kebudayaan Kristen-Romawi – meskipun masih mengambil beberapa peringatan dari kebudayaan Kristen-Romawi seperti Valentine, Natal, Paskah, Halloween, dan lain-lain. Kebudayaan barat dibangun dengan semangat Yunani dengan Filsafat sebagai “teologi”, demokrasi sebagai sistem politik, protestan sebagai keyakinan tanpa ibadah (deisme), sekulerisme sebagai alat potong dan pelumpuhan intervensi dari pihak manapun, homoseks dan banalitas-seksual sebagai antitesa pengakuan dosa dan represi seksual Katolik.
Proses pengambilan unsur-unsur tersebut oleh kebudayaan Barat, dilakukan secara asimilatif. Unsur-unsur tersebut diambil secara mentah-mentah dan kemudian dicampur dalam sebuah kondisi yang saling bertolak belakang. Kebudayaan Barat lahir bukan dari prinsip yang utuh dan meliputi, akan tetapi bersifat parsial dan karena tidak dapat dihubungkan atau bertentangan, maka terjadi isolasi (yang akan lebih lanjut diuraikan) atau peperangan (seperti sudah diuraikan di atas).
Sungguh malang, namun hal itu benar-benar terjadi dan ternyata menular kepada kebudayaan lain. Penyakit tersebut diderita pula oleh kebudayaan lain dan akhirnya berusaha mengadaptasi cara Barat dalam menjalani kebudayaannya. Terlihat dengan menggunakan periodisasi sejarah seperti Barat. Periodisasi dikenal dengan pembagian Klasik, Abad Pertengahan, Renaisans, Modern, dan Posmodern. Para peng-asimilasi kebudayaan Barat kemudian mencoba men-sekuler-kan dan me-liberal-kan kebudayaan mereka seperti yang dilakukan kebudayaan Barat untuk mencapai kejayaan dan kemajuan yang dicapai Barat. Akhirnya banyak kebudayaan yang menjadi “Barat” (westernisasi), mulai dari pandangan ontologis hingga etis, beserta prakteknya..
Sebenarnya, masyarakat Barat mulai sadar dengan kondisi yang demikian sakit – meski disayangkan para peng-asimilasi kebudayaan Barat nampaknya belum sadar. Namun, mereka tidak dapat melihat secara jelas akar permasalahannya. Masyarakat Barat banyak yang melarikan diri ke dalam spiritualitas, dunia mistis, kehidupan banal, menikmat seks yang memuakkan, menikmati musik yang mebuat histeris, dan lain-lain hingga akhirnya bunuh-diri, menjadi fenomena yang wajar dan tidak berusaha untuk diubah. Semua hal tersebut adalah wajar karena kebebasan adalah segalanya. Tradisi haruslah sesuatu yang rasional dan menjunjung kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Lewat argumentasi ini, individu-Barat menjadi pragmatis, eklektis, dan split-many-personality.
Meskipun muncul kesadaran tentang ke-akut-an penyakit mereka, pengeliminiran ini masih terus terjadi dan entah kapan akan berakhir.
Adanya usaha untuk mengisolasi unsur kebudayaan yang satu dari unsur kebudayaan yang lain.
Mengisolasi unsur kebudayaan yang satu dengan yang lain, sebenarnya merupakan konsekuensi dari eklektis-kontradiktifnya kebudayaan Barat – karena unsur-unsur kebudayaannya tidak berhubungan bahkan bertentangan satu sama lain. Usaha untuk mengisolasi ini adalah sebuah hal yang sudah kita ketahui, lewat ungkapan-ungkapan, seperti seni untuk seni (seni murni), sains untuk sains, politik untuk politik, ekonomi untuk ekonomi, dan hukum untuk hukum.
Jika ditelusuri, penyebab kondisi tersebut adalah sekularisme – selain yang sudah disebutkan di atas. Sekularisme, pada awalnya, menyerang agama Kristen yang berkelindan dengan negara. Sekularisme menghendaki agar gereja atau urusan keyakinan dipisahkan dari negara. Pemisahan ini, ternyata semakin meluas dan menjangkiti unsur-unsur kebudayaan Barat yang lain. Semua unsur tersebut, secara implisit mengatakan bahwa mereka memiliki wilayahnya masing-masing yang otonom dan terpisah dari yang lainnya. Keter-pisahan ini membuat diri individu-Barat juga menjadi split-many-personality. Mereka menjadi sedemikian banyak pribadi yang berbeda dalam dunia yang sebenarnya hanya satu. Pribadi-banyak yang dimaksud adalah pribadi yang menghidupi prinsip-prinsip yang bertentangan di dalam unsur-unsur kebudayaannya. Hal ini membuat seseorang yang hidup seperti demikian, akan memiliki dua prinsip yang berbeda-bertentangan dalam satu unsur kebudayaan, seperti menjadi teis (formal) sekaligus ateis (praktek, dalam sekularisme), dan ketika berpindah menghidupi unsur kebudayaan lain.
Namun, perlahan pula disadari bahwa isolasi seperti adalah sebuah tindakan yang naif dan banyak merusak. Seperti mulai disadari bahwa seni bukan untuk seni itu sendiri. Seni, yang nyatanya menjadi sebuah sarana untuk melakukan kritik sosial, juga merupakan seni, tapi bukan untuk dirinya sendiri. Sains pun demikian. Sains menjadi sesuatu yang digunakan untuk kemanfaatan kehidupan manusia. Dan begitu juga dengan unsur kebudayaan Barat yang lain.
Kesadaran ini, sayangnya masih menemui kebuntuan. Oleh karena ada problem dalam agama yang mereka anut sebelumnya, yang sebenarnya mendasar dan belum diselesaikan. Problem tentang Tuhan yang satu, kitab yang diwahyukan, Nabi dan rasul, bunda Maria, Natal, dan masih banyak yang lainnya. Problem tersebut belum mereka selesaikan, padahal itu letak permasalahan yang penting untuk diselesaikan.
Mengisolasi unsur kebudayaan yang satu dengan yang lain, sebenarnya merupakan konsekuensi dari eklektis-kontradiktifnya kebudayaan Barat – karena unsur-unsur kebudayaannya tidak berhubungan bahkan bertentangan satu sama lain. Usaha untuk mengisolasi ini adalah sebuah hal yang sudah kita ketahui, lewat ungkapan-ungkapan, seperti seni untuk seni (seni murni), sains untuk sains, politik untuk politik, ekonomi untuk ekonomi, dan hukum untuk hukum.
Jika ditelusuri, penyebab kondisi tersebut adalah sekularisme – selain yang sudah disebutkan di atas. Sekularisme, pada awalnya, menyerang agama Kristen yang berkelindan dengan negara. Sekularisme menghendaki agar gereja atau urusan keyakinan dipisahkan dari negara. Pemisahan ini, ternyata semakin meluas dan menjangkiti unsur-unsur kebudayaan Barat yang lain. Semua unsur tersebut, secara implisit mengatakan bahwa mereka memiliki wilayahnya masing-masing yang otonom dan terpisah dari yang lainnya. Keter-pisahan ini membuat diri individu-Barat juga menjadi split-many-personality. Mereka menjadi sedemikian banyak pribadi yang berbeda dalam dunia yang sebenarnya hanya satu. Pribadi-banyak yang dimaksud adalah pribadi yang menghidupi prinsip-prinsip yang bertentangan di dalam unsur-unsur kebudayaannya. Hal ini membuat seseorang yang hidup seperti demikian, akan memiliki dua prinsip yang berbeda-bertentangan dalam satu unsur kebudayaan, seperti menjadi teis (formal) sekaligus ateis (praktek, dalam sekularisme), dan ketika berpindah menghidupi unsur kebudayaan lain.
Namun, perlahan pula disadari bahwa isolasi seperti adalah sebuah tindakan yang naif dan banyak merusak. Seperti mulai disadari bahwa seni bukan untuk seni itu sendiri. Seni, yang nyatanya menjadi sebuah sarana untuk melakukan kritik sosial, juga merupakan seni, tapi bukan untuk dirinya sendiri. Sains pun demikian. Sains menjadi sesuatu yang digunakan untuk kemanfaatan kehidupan manusia. Dan begitu juga dengan unsur kebudayaan Barat yang lain.
Kesadaran ini, sayangnya masih menemui kebuntuan. Oleh karena ada problem dalam agama yang mereka anut sebelumnya, yang sebenarnya mendasar dan belum diselesaikan. Problem tentang Tuhan yang satu, kitab yang diwahyukan, Nabi dan rasul, bunda Maria, Natal, dan masih banyak yang lainnya. Problem tersebut belum mereka selesaikan, padahal itu letak permasalahan yang penting untuk diselesaikan.
Adanya ideologisasi di dalam masing-masing unsur kebudayaan.
Adanya ideologisasi ini, dapat dilihat dari penggunaan akhiran “-isme”. Misalnya, materialisme, idealisme, relativisme, empirisme, rasionalisme, positivisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, liberalisme, feminisme, hedonisme, dan masih banyak yang lainnya.
Ideologisasi ini pada dasarnya terjadi karena melihat realitas secara sebelah mata dan akhirnya melakukan reduksi yang menyebabkan masing-masing di dalam masing-masing unsur kebudayaan terdapat banyak ideologi. Liberalisme adalah sebuah ideologi yang liberal mulai dari sisi ontologis hingga etis. Dan begitu pula yang lainnya. Masing-masing ideologi sudah mengatur pandangan mulai dari tataran ontologis hingga etis. Lalu bagaimana semua unsur tersebut dapat disatukan dalam sebuah kebudayaan, yang disebut Barat?
Pertanyaan tersebut akan membawa kita kepada tesis yang sedari awal saya ajukan, bahwa Barat adalah kebudayaan yang ternyata bersifat kontradiktif antara unsur kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat bersatu hanya karena Barat sudah lelah mencari arkhe, pengetahuan dan kebenaran yang universal dan absolut, hingga akhirnya hanya menerima kebenaran pragmatis, pengetahuan yang abritrer, dan nilai yang relatif. Sebuah kelelahan yang akhirnya memunculkan sikap mengabaikan persoalan yang tidak kunjung terjawab. Pengabaian terhadap persoalan realitas universal ada atau tidak (soft anti-realisme); dasar yang tak goyah bagi pengetahuan (anti-fondasionalis); nilai yang incommensurability (tak terbandingkan) satu sama lain (relativisme nilai).
Pengabaian yang disebutkan di atas bukan tanpa problem. Sebab, mereka kemudian menghadapi problem atas munculnya ruang universalitas di dunia. Ketika akhirnya, multikulturalisme pun nampak menjadi suatu institusi yang “objektif” yang mengevaluasi aktivitas kebudayaan-kebudayaan yang ada, meskipun dikatakan bahwa nilai-nilai tersebut relatif. Berbicara tentang wujud dan pengetahuan yang relatif pula, namun seolah-olah apa yang dibicarakan bersifat universal.
Dapat dikatakan bahwa Barat sebagai sebuah kebudayaan adalah sebuah budaya yang sakit dan kini sedang mempopulerkan dirinya lewat globalisasi, sehingga manusia dalam kebudayaan lain menjadi ikut sakit. Kebudayaan lain, sebenarnya adalah kebudayaan yang lebih baik daripada kebudayaan Barat. Kebudayaan lain itu memiliki sebuah kesatuan hubungan antar unsur kebudayaannya. Tidak ada isolasi, ideologisasi, dan pengeliminiran dalam kebudayaan mereka. Meskipun masih terdapat permasalahan dari segi ke-Tuhan-an, yang merupakan pusat hubungan antar-unsur kebudayaan. Pusat tersebut bermasalah karena tidak ada keterangan yang nyata tentang siapa yang pantas menjadi Tuhan, bagaimana menyembahnya, apa saja yang menjadi perintah dan larangannya, dan seterusnya.
Adanya ideologisasi ini, dapat dilihat dari penggunaan akhiran “-isme”. Misalnya, materialisme, idealisme, relativisme, empirisme, rasionalisme, positivisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, liberalisme, feminisme, hedonisme, dan masih banyak yang lainnya.
Ideologisasi ini pada dasarnya terjadi karena melihat realitas secara sebelah mata dan akhirnya melakukan reduksi yang menyebabkan masing-masing di dalam masing-masing unsur kebudayaan terdapat banyak ideologi. Liberalisme adalah sebuah ideologi yang liberal mulai dari sisi ontologis hingga etis. Dan begitu pula yang lainnya. Masing-masing ideologi sudah mengatur pandangan mulai dari tataran ontologis hingga etis. Lalu bagaimana semua unsur tersebut dapat disatukan dalam sebuah kebudayaan, yang disebut Barat?
Pertanyaan tersebut akan membawa kita kepada tesis yang sedari awal saya ajukan, bahwa Barat adalah kebudayaan yang ternyata bersifat kontradiktif antara unsur kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat bersatu hanya karena Barat sudah lelah mencari arkhe, pengetahuan dan kebenaran yang universal dan absolut, hingga akhirnya hanya menerima kebenaran pragmatis, pengetahuan yang abritrer, dan nilai yang relatif. Sebuah kelelahan yang akhirnya memunculkan sikap mengabaikan persoalan yang tidak kunjung terjawab. Pengabaian terhadap persoalan realitas universal ada atau tidak (soft anti-realisme); dasar yang tak goyah bagi pengetahuan (anti-fondasionalis); nilai yang incommensurability (tak terbandingkan) satu sama lain (relativisme nilai).
Pengabaian yang disebutkan di atas bukan tanpa problem. Sebab, mereka kemudian menghadapi problem atas munculnya ruang universalitas di dunia. Ketika akhirnya, multikulturalisme pun nampak menjadi suatu institusi yang “objektif” yang mengevaluasi aktivitas kebudayaan-kebudayaan yang ada, meskipun dikatakan bahwa nilai-nilai tersebut relatif. Berbicara tentang wujud dan pengetahuan yang relatif pula, namun seolah-olah apa yang dibicarakan bersifat universal.
Dapat dikatakan bahwa Barat sebagai sebuah kebudayaan adalah sebuah budaya yang sakit dan kini sedang mempopulerkan dirinya lewat globalisasi, sehingga manusia dalam kebudayaan lain menjadi ikut sakit. Kebudayaan lain, sebenarnya adalah kebudayaan yang lebih baik daripada kebudayaan Barat. Kebudayaan lain itu memiliki sebuah kesatuan hubungan antar unsur kebudayaannya. Tidak ada isolasi, ideologisasi, dan pengeliminiran dalam kebudayaan mereka. Meskipun masih terdapat permasalahan dari segi ke-Tuhan-an, yang merupakan pusat hubungan antar-unsur kebudayaan. Pusat tersebut bermasalah karena tidak ada keterangan yang nyata tentang siapa yang pantas menjadi Tuhan, bagaimana menyembahnya, apa saja yang menjadi perintah dan larangannya, dan seterusnya.
Sumber: http://melkyshare.blogspot.com/2011/12/kebudayaan-barat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar